Permasalahan Demografi : Sebaran Penduduk yang Tidak Merata


Ternyata, setelah sekian lama dipusingkan dengan permasalahan demografi berupa urbanisasi, migrasi dari desa ke kota, permasalahan yang tidak kalah peliknya adalah kurangnya jumlah penduduk di daerah-daerah asal urbanisasi. Ini terjadi di mana saja, dan contoh gamblangnya daerah saya. Dari namanya, sudah terkenal dari dahulu, bahwa Pacitan adalah daerah asal para perantau, baik level propinsi, pulau, negara, maupun hingga ke manca negara.

Sebaran Migrasi dan Profesi
Untuk level propinsi, mayoritas masyarakat mengadu nasib ke Surabaya. Maklum, kota ini adalah ibu kota propinsi dan merupakan kota terbesar ke-dua di Indonesia dengan segala potensinya, terutama di bidang industri dan jasa. Kota-kota yang lain, adalah Madiun, Malang, dan beberapa kabupaten lain yang tantangan alamnya lebih enteng dibanding Pacitan. Level pulau, adalah ibu kota propinsi dan kota-kota besar lain, seperti Yogyakarta, Semarang, Solo, Bandung, Bogor. Mayoritas pupulasi untuk level pulau adalah Jabodetabek. Jelas, karena perputaran uang di Indonesia, sekitar 70 % berada di kawasan ini.

Untuk migrasi tingkat nasional, warga Pacitan menyebar ke beberapa daerah konsentrasi, khususnya Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, serta Bangka Belitung. Untuk perpindahan ke Sumatera, biasanya dilatarbelakangi oleh program transmigrasi nasional yang marak digalakkan dari tahun 1980 – 1990. Sedangkan daerah tujuan yang lain, karena memiliki daya tarik secara ekonomi, baik sebagai daerah industri, jasa, maupun pertambangan.

Adapun untuk level manca negara, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam merupakan daerah yang tidak asing bagi warga Pacitan. Khususnya Singapura dan Malaysia, sejak abad 19 kedua wilayah tersebut sudah dijadikan tujuan migrasi. Contohnya kakek saya, ketika masih bujang, sekitar tahun 1912 merantau beberapa tahun di Malaysia dan membuka lahan perkebunan di sana, yang konon hingga kini masih ada tetapi masih dalam status quo kepemilikannya.

Macam pekerjaan yang dilakukan saudara-saudara warga perantauan asal Pacitan sangat beragam. Dari pembantu rumah tangga, sopir, karyawan swasta, guru, dokter, pelaku usaha, pegawai negeri, birokrat, hingga yang terkenal saat ini adalah presiden. Jadi, sebagai daerah “pengekspor” tenaga kerja, profesi yang ada sangat komplit.

Permasalahan kependudukan
Namun, di luar “keberhasilan” mengirimkan tenaga ke luar daerah, Pacitan memiliki permasalahan yang sepertinya klasik, sebagaimana dialami daerah lain di negara-negara berkembang. Kelangkaan jumlah penduduk menjadi penyebab lambatnya (jika tidak boleh dibilang mandeg) pembangunan dan kenaikan tingkat kesejahteraan. Rumah tangga yang dahulunya memiliki warga rata-rata 5 orang, kini semakin berkurang seiring semakin dewasanya anak-anak. Dengan fasilitas pendidikan yang terbatas serta fasilitas untuk mencari penghidupan yang sedemikian rupa, orang tua yang berorientasi pada masa depan selalu mengirimkan anak-anaknya untuk mencari ilmu dan nafkah di daerah lain yang memungkinkan.

Selain terbatasnya fasilitas di atas, keberhasilan program Keluarga Berencana yang digalakkan pada masa orde baru cukup memberi andil pada pengurangan jumlah penduduk. Bukti gamblangnya ada di sekolah-sekolah. Untuk tingkat Sekolah Dasar, pada masa 1980 – 1993, rata-rata satu desa memiliki empat SD dengan siswa tiap kelas di kisaran 25 – 40 orang. Kini, seiring semakin sedikitnya populasi, jumlah SD tiap desa sudah mulai berkurang. Semua karena permasalahan jumlah murid yang semakin sedikit. Di desa saya, dari 4 SD menjadi 3 SD saja. Padahal idealnya, berdasarkan luas wilayahnya minimal dilayani 5 SD.

Permasalahan lain, adalah semakin banyaknya populasi lansia yang tidak diimbangi oleh penduduk usia produktif. Ini berakibat pada semakin berkurangnya tenaga-tenaga yang biasa mengerjakan profesi pertanian dan perkebunan. Padahal rata-rata penduduk desa memiliki lahan perumahan, perkebunan atau persawahan yang tentunya tidak bisa dikerjakan sendiri. Seperti halnya keluarga ibu saya. Dari 13 bersaudara, yang tersisa di Pacitan hanya 3. Lima orang ke Jakarta, dan lima lagi ke Surabaya dan beranak-pinak di kota-kota tersebut. Begitu pula dengan keluarga dari nenek, ada yang hijrah ke malaysia di sekitar 1940-an, serta mayoritas berurbanisasi ke Jakarta. Orang tua saya, yang hanya memiliki dua orang anak, mengalami hal serupa. Kini, keduanya yang sudah mulai sepuh, masih bertahan di Pacitan. Padahal keduanya dalam kondisi yang kurang fit akhir-akhir ini. Saya di Surabaya, dan kakak di Malang. Padahal ada beberapa tempat selain pekarangan yang harus ditengok dan dikelola.

Konversi Lahan
Lahan yang dulunya berupa sawah, demi meminimalkan perawatan yang membutuhkan tenaga dan konsentrasi, terpaksa dikonversi ke perkebunan atau ladang. Terlebih akhir-akhir ini harga kayu dan hasil kebun lebih menjanjikan dibandingkan hasil persawahan. Konversi lahan ini menurut saya ke depannya tentu menjadi salah satu andil dalam kelangkaan bahan makanan.

Dengan kompleksitas permasalahan demografi tersebut, harus dilakukan langkah-langkah nyata untuk menanggulangi dampak buruknya. Di antaranya pemerataan pembangunan, baik berupa fasilitas umum maupun fasilitas berusaha. Kemudahan akses transportasi dan informasi serta perizinan yang tidak mendholimi masyarakat juga harus dikedepankan. Selain itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat harus lebih digalakkan agar ketika ada keinginan untuk urbanisasi, paling tidak berfikir seribu kali karena masih ada iming-iming program ini. (SON)

One Comment

Leave a comment